Siapa yang menyangka bahwa pemain bola yang bergaji milyaran rupiah adalah
berkat jasa seorang pemain sepak bola yang bermain di klub kecil RC Liege
Belgia. Nama lengkapnya adalah Jean-Marc Bosman.
Saat ini, bintang lapangan hijau hidup senang dengan gaji miliaran rupiah per pekan. Saat
memasuki fase akhir kontrak, pemain memiliki daya tawar kuat agar bisa mendapat
bayaran lebih tinggi. Pasalnya, jika tidak, sang pemain bisa leluasa
bernegosiasi dengan klub lain yang menawarkan bayaran lebih tinggi. Ya, aturan
itulah yang membuat pemain saat ini cepat kaya raya. Aturan yang dikenal dengan
Bosman Ruling.
Pada tahun 1990, kontrak Bosman di klub FC Liege berakhir dan dia sedang
mencari klub baru. Klub yang akan dia tuju adalah Dunkerque, sebuah klub kecil
di Prancis. Pada masa itu belum ada aturan soal bebas transfer. Meskipun
kontrak sudah berakhir, FC Liege tidak mau melepasnya. Gaji Bosman dipotong karena
tidak lagi masuk tim utama, dan klub meminta biaya transfer jika dia masih
ngotot ingin pindah. RC Liege mematok harga 1.2 juta Belgia franc. US Dunkerque
yang tadinya tertarik akhirnya mengurungkan niatnya untuk memboyong Bosman
dengan alasan menolak membayar nilai transfer yang dibebankan oleh RC Liege.
Merasa tidak berada pada jalur yang adil, Bosman pun membawa kasus ini ke
pengadilan. Dia menuntut hak sebagai warga Uni Eropa, untuk mendapatkan
kebebasan mencari pekerjaan ke sesama negara anggota Uni Eropa. Kasus ini
diproses di pengadilan dalam waktu yang tidak sebentar, butuh lima tahun hingga
akhirnya dibawa ke Pengadilan Eropa pada 1995.
Dari perjuangan Bosman
itulah pengadilan memutuskan 3 item yang akhirnya diberlakukan di seluruh klub
sepak bola Eropa bahkan dunia yaitu :
- Melarang adanya harga
transfer untuk pemain yang telah selesai masa kontraknya. Sebelum itu, klub
bisa mendapatkan kompensasi dari transfer pemain meskipun pemain tersebut telah
habis kontraknya. Selain itu, klub juga bisa mengganjal perpindahan pemain yang
habis masa kontraknya ke klub lain.
- Klub tidak berhak
menahan pemain yang masa kontraknya selesai untuk mendapatkan kompensasi.
Pemain tersebut masuk kategori “bebas transfer”. Jika pemain tersebut
menandatangani kontrak jutaan dolar, klub lamanya tidak mendapatkan apapun.
Klub pembelinya bisa menjadikan nilai transaksi tersebut sebagai gaji bagi
pemain tersebut dalam masa kontrak.
- Menolak batasan pemain
asing yang boleh bermain dalam pertandingan di liga dalam negara-negara Eropa
seperti yang diberlakukan UEFA. Sebelumya, UEFA menetapkan peraturan “tiga plus
dua” untuk pemain asing yang turun dalam turnamen Eropa, yakni hanya boleh tiga
pemain luar Uni Eropa dan dua pemain “asimilasi”, yakni pemain asing yang sudah
bermain di liga melalui jalur pemain muda.
Akhirnya dari kasus
kecil itu bisa berdampak yang sangat besar bagi dunia sepak bola khususnya
pemain bintang. Perlu diketahui sebelum adanya Bosman Ruling, seorang pemain hanya bisa pindah jika terjadi
kesepakatan negosiasi antara kedua klub. Bedanya dengan sekarang, dulu tetap
ada biaya transfer meskipun kontrak sang pemain sudah berakhir. Selain itu, era
sebelum Bosman Ruling juga membatasi jumlah pemain asing secara ketat. Setiap
klub hanya diperbolehkan memiliki 3 pemain berkewarganegaraan asing. Bosman
Ruling memberi lebih banyak kebebasan, dimana batasan pemain asing dihilangkan
sepanjang sang pemain masih berada di wilayah negara Uni Eropa.
Sedangkan setelah muncul aturan Bosman Ruling Kehidupan sepakbola Eropa berubah
cukup dramatis setelah Bosman Ruling dikeluarkan. Pemain jadi memiliki posisi
tawar yang lebih tinggi, tidak lagi menjadi 'budak klub'. Pemain jadi bisa
bebas pindah klub saat kontrak berakhir, dan klub 'dipaksa' untuk memberi
kontrak jangka panjang dan menaikkan nilai kontrak jika tidak ingin kehilangan
pemain terbaiknya secara cuma-cuma.
Namun aturan ini juga membuat klub kecil menjadi kesulitan. Karena
kemampuan finansialnya, klub-klub kecil biasanya kesulitan memberi kontrak
jangka panjang. Hal ini membuat mereka kesulitan menahan pemain-pemain
berbakatnya. Banyak kasus terjadi, klub kecil harus rela kehilangan pemain
secara gratis, atau terpaksa menjual murah sebelum kontrak habis. Semakin
sedikit sisa kontrak, biasanya nilai jual makin rendah.
Pemain jadi memiliki power yang meningkat secara signifikan. Mereka jadi
punya posisi strategis untuk meminta gaji tinggi, apalagi jika kontrak akan
segera berakhir. Sebut saja Rooney (MU), Cristiano Ronaldo (Madrid) dan masih
banyak lagi dengan gampangnya meminta gaji selangit.
Lalu
bagaimana dengan Bosman sendiri apakah dia bernasib sama seperti pemain bintang
berkat jasanya? Beberapa
tahun lalu, dia disebut terjerumus menjadi seorang alkoholik dan menderita
depresi berat. Meski sudah lepas dari alkohol, Bosman saat ini masih harus
meminum obat anti-depresi.
Ironisnya sosok yang membuat pemain lain kaya raya kini hidupnya bergantung pada
uang sebesar 630 pound yang tiap bulan diberikan oleh pemerintah Belgia. Ya,
tiap bulan Bosman harus pergi ke badan sosial untuk menerima “gaji”-nya.
“Semua
orang sudah melupakan orang di balik kasus Bosman. Saya membuat dunia sepakbola
kaya dan mendapati diri sendiri tak memiliki apapun,” ujar Bosman kepada sebuah
stasiun televisi Prancis. “Saya harus menangis darah saat berjuang. Saya sangat
menderita. Dan, saya tak pernah mendapat penghargaan dari kolega, sesama
pemain.
Sebenarnya
saat memenangkan kasus tersebut di pengadilan dia mendapatkan uang yang banyak.
Dia memiliki dua buah rumah yang dilengkapi kolam renang. Sehari-harinya dia
mengendarai BMW atau dua buah Porsche yang dimilkinya. Dia pun rutin menerima
uang (berkat jasanya kepada sesama pemain) dari FIFPro (Serikat Pemain Profesional).
Bukannya berterima kasih, Bosman malah meminta jumlah lebih banyak kepada
FIFPro.
Hidupnya
berantakan, perkawinannya bubar, dia kehilangan banyak uang, dan menjadi
pecandu alkohol. Apa yang yang terjadi tentu saja bukan kesalahan siapa-siapa
selain dirinya. Usai
pensiun sebagai pemain. Dia mengira bisa hidup enak berkat apa yang
diperjuangkannya. Padahal, kala itu dia hanya mewakili dirinya sendiri,
berjuang agar bisa pindah ke klub yang menawarinya gaji lebih tinggi.
Pihak
FIFPro sendiri menyatakan sedang mencari solusi yang tepat untuk membantu
Bosman. ”Tak mudah karena kami ingin membantunya secara finansial di masa
lalu. Namun, itu tak mencegahnya untuk kembali ke situasi yang sulit,” ujar
Philippe Piat, wakil presiden FIFPro.
Bagaimanapun,
apa yang dilakukan Bosman patut dihargai. Dia melakukan sesuatu yang tak ada
seorangpun mau melakukannya saat itu. Bosman sudah mengakhiri masa kelam bagi
pesepakbola. “I ended a system of slavery,”
ujarnya.
Diambil dari barbagai sumber