Minggu, 14 Juli 2013

Sosok Dibalik Milyader Pemain Sepak Bola

Siapa yang menyangka bahwa pemain bola yang bergaji milyaran rupiah adalah berkat jasa seorang pemain sepak bola yang bermain di klub kecil RC Liege Belgia. Nama lengkapnya adalah Jean-Marc Bosman. Saat ini, bintang lapangan hijau hidup senang dengan gaji miliaran rupiah per pekan. Saat memasuki fase akhir kontrak, pemain memiliki daya tawar kuat agar bisa mendapat bayaran lebih tinggi. Pasalnya, jika tidak, sang pemain bisa leluasa bernegosiasi dengan klub lain yang menawarkan bayaran lebih tinggi. Ya, aturan itulah yang membuat pemain saat ini cepat kaya raya. Aturan yang dikenal dengan Bosman Ruling.

Pada tahun 1990, kontrak Bosman di klub FC Liege berakhir dan dia sedang mencari klub baru. Klub yang akan dia tuju adalah Dunkerque, sebuah klub kecil di Prancis. Pada masa itu belum ada aturan soal bebas transfer. Meskipun kontrak sudah berakhir, FC Liege tidak mau melepasnya. Gaji Bosman dipotong karena tidak lagi masuk tim utama, dan klub meminta biaya transfer jika dia masih ngotot ingin pindah. RC Liege mematok harga 1.2 juta Belgia franc. US Dunkerque yang tadinya tertarik akhirnya mengurungkan niatnya untuk memboyong Bosman dengan alasan menolak membayar nilai transfer yang dibebankan oleh RC Liege. Merasa tidak berada pada jalur yang adil, Bosman pun membawa kasus ini ke pengadilan. Dia menuntut hak sebagai warga Uni Eropa, untuk mendapatkan kebebasan mencari pekerjaan ke sesama negara anggota Uni Eropa. Kasus ini diproses di pengadilan dalam waktu yang tidak sebentar, butuh lima tahun hingga akhirnya dibawa ke Pengadilan Eropa pada 1995.

Dari perjuangan Bosman itulah pengadilan memutuskan 3 item yang akhirnya diberlakukan di seluruh klub sepak bola Eropa bahkan dunia yaitu : 
  1. Melarang adanya harga transfer untuk pemain yang telah selesai masa kontraknya. Sebelum itu, klub bisa mendapatkan kompensasi dari transfer pemain meskipun pemain tersebut telah habis kontraknya. Selain itu, klub juga bisa mengganjal perpindahan pemain yang habis masa kontraknya ke klub lain.
  2. Klub tidak berhak menahan pemain yang masa kontraknya selesai untuk mendapatkan kompensasi. Pemain tersebut masuk kategori “bebas transfer”. Jika pemain tersebut menandatangani kontrak jutaan dolar, klub lamanya tidak mendapatkan apapun. Klub pembelinya bisa menjadikan nilai transaksi tersebut sebagai gaji bagi pemain tersebut dalam masa kontrak.
  3. Menolak batasan pemain asing yang boleh bermain dalam pertandingan di liga dalam negara-negara Eropa seperti yang diberlakukan UEFA. Sebelumya, UEFA menetapkan peraturan “tiga plus dua” untuk pemain asing yang turun dalam turnamen Eropa, yakni hanya boleh tiga pemain luar Uni Eropa dan dua pemain “asimilasi”, yakni pemain asing yang sudah bermain di liga melalui jalur pemain muda.
Akhirnya dari kasus kecil itu bisa berdampak yang sangat besar bagi dunia sepak bola khususnya pemain bintang. Perlu diketahui sebelum adanya Bosman Ruling, seorang pemain hanya bisa pindah jika terjadi kesepakatan negosiasi antara kedua klub. Bedanya dengan sekarang, dulu tetap ada biaya transfer meskipun kontrak sang pemain sudah berakhir. Selain itu, era sebelum Bosman Ruling juga membatasi jumlah pemain asing secara ketat. Setiap klub hanya diperbolehkan memiliki 3 pemain berkewarganegaraan asing. Bosman Ruling memberi lebih banyak kebebasan, dimana batasan pemain asing dihilangkan sepanjang sang pemain masih berada di wilayah negara Uni Eropa. 

Sedangkan setelah muncul aturan Bosman Ruling Kehidupan sepakbola Eropa berubah cukup dramatis setelah Bosman Ruling dikeluarkan. Pemain jadi memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, tidak lagi menjadi 'budak klub'. Pemain jadi bisa bebas pindah klub saat kontrak berakhir, dan klub 'dipaksa' untuk memberi kontrak jangka panjang dan menaikkan nilai kontrak jika tidak ingin kehilangan pemain terbaiknya secara cuma-cuma.  

Namun aturan ini juga membuat klub kecil menjadi kesulitan. Karena kemampuan finansialnya, klub-klub kecil biasanya kesulitan memberi kontrak jangka panjang. Hal ini membuat mereka kesulitan menahan pemain-pemain berbakatnya. Banyak kasus terjadi, klub kecil harus rela kehilangan pemain secara gratis, atau terpaksa menjual murah sebelum kontrak habis. Semakin sedikit sisa kontrak, biasanya nilai jual makin rendah. 

Pemain jadi memiliki power yang meningkat secara signifikan. Mereka jadi punya posisi strategis untuk meminta gaji tinggi, apalagi jika kontrak akan segera berakhir. Sebut saja Rooney (MU), Cristiano Ronaldo (Madrid) dan masih banyak lagi dengan gampangnya meminta gaji selangit.

Lalu bagaimana dengan Bosman sendiri apakah dia bernasib sama seperti pemain bintang berkat jasanya? Beberapa tahun lalu, dia disebut terjerumus menjadi seorang alkoholik dan menderita depresi berat. Meski sudah lepas dari alkohol, Bosman saat ini masih harus meminum obat anti-depresi.

Ironisnya sosok yang membuat pemain lain kaya raya kini hidupnya bergantung pada uang sebesar 630 pound yang tiap bulan diberikan oleh pemerintah Belgia. Ya, tiap bulan Bosman harus pergi ke badan sosial untuk menerima “gaji”-nya.

“Semua orang sudah melupakan orang di balik kasus Bosman. Saya membuat dunia sepakbola kaya dan mendapati diri sendiri tak memiliki apapun,” ujar Bosman kepada sebuah stasiun televisi Prancis. “Saya harus menangis darah saat berjuang. Saya sangat menderita. Dan, saya tak pernah mendapat penghargaan dari kolega, sesama pemain.

Sebenarnya saat memenangkan kasus tersebut di pengadilan dia mendapatkan uang yang banyak. Dia memiliki dua buah rumah yang dilengkapi kolam renang. Sehari-harinya dia mengendarai BMW atau dua buah Porsche yang dimilkinya. Dia pun rutin menerima uang (berkat jasanya kepada sesama pemain) dari FIFPro (Serikat Pemain Profesional). Bukannya berterima kasih, Bosman malah meminta jumlah lebih banyak kepada FIFPro.

Hidupnya berantakan, perkawinannya bubar, dia kehilangan banyak uang, dan menjadi pecandu alkohol. Apa yang yang terjadi tentu saja bukan kesalahan siapa-siapa selain dirinya. Usai pensiun sebagai pemain. Dia mengira bisa hidup enak berkat apa yang diperjuangkannya. Padahal, kala itu dia hanya mewakili dirinya sendiri, berjuang agar bisa pindah ke klub yang menawarinya gaji lebih tinggi.

Pihak FIFPro sendiri menyatakan sedang mencari solusi yang tepat untuk membantu Bosman.  ”Tak mudah karena kami ingin membantunya secara finansial di masa lalu. Namun, itu tak mencegahnya untuk kembali ke situasi yang sulit,” ujar Philippe Piat, wakil presiden FIFPro.

Bagaimanapun, apa yang dilakukan Bosman patut dihargai. Dia melakukan sesuatu yang tak ada seorangpun mau melakukannya saat itu. Bosman sudah mengakhiri masa kelam bagi pesepakbola. “I ended a system of slavery,” ujarnya.

Diambil dari barbagai sumber


0 comments:

Posting Komentar

Bagi yang mau komentar dipersilahkan..