Soto Kudus Cocok untuk Makan Siang

Soto Kudus adalah soto yang berasal dari Kudus. Soto Kudus terdapat dua jenis soto ayam dan soto kerbau. Soto Kudus cenderung berasa manis dan sedikit lebih encer.

Pantai Tirta Samudra Bandengan Jepara

Jepara bukan hanya kota dengan kerajinan ukirnya atau dengan ikon pahlawan R. A. Kartini tetapi kota ini juga menyimpan keindahan pantainya, salah satunya yaitu pantai Tirta Samudra atau biasa disebut pantai Bandengan (sekitar 7 km di utara pusat kota Jepara) Kabupaten Jepara Jawa Tengah Indonesia.

Tips Memperbaiki Tidur yang Nyaman

Waktu tidur yang cukup sangat diperlukan agar tubuh punya waktu untuk melakukan recovery sehingga punya kekuatan untuk menjalankan aktivitas seharian keesokan harinya.

Just Remind

Pernah ada anak lelaki dengan watak buruk. Ayahnya memberi dia sekantung penuh paku, dan menyuruh memaku satu batang paku di pagar pekarangan setiap kali dia kehilangan kesabarannya atau berselisih paham dengan orang lain.

4 Sehat 5 Sempurna dulu, Kini PGS Sebagai Penggantinya

Indonesia kini resmi menggunakan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) untuk menyiapkan pola hidup sehat masyarakat Indonesia dalam menghadapi 'beban ganda masalah gizi', yaitu ketika kekurangan dan kelebihan gizi terjadi secara bersama.

Rabu, 12 Oktober 2011

Difteri

1.   Identifikasi
   Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteria faringotonsiler, diikuti dengan kelenjar limfe  yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes/pengelupasan). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.
Pengaruh toksin difteria pada lesi perifer tidak jelas. Difteria sebaiknya selalu dipikirkan dalam membuat diferensial diagnosa pada infeksi bakteri (khususnya Streptococcus) dan viral pharingitis, Vincent’s angina, mononucleosis infeksiosa, syphilis pada mulut dan candidiasis.
Perkiraan diagnosa difteri didasarkan pada ditemukan adanya membran asimetris keabu-abuan khususnya bila menyebar ke ovula dan palatum molle pada penderita tonsillitis, pharingitis atau limfadenopati leher atau adanya discharge serosanguinus dari hidung. Diagnosa difteri dikonfrimasi dengan pemeriksaan bakteriologis terhadap sediaan yang diambil dari lesi.
Jika diduga kuat bahwa penderita difteria maka secepatnya diberikan pengobatan yang tepat dengan antibiotika dan pemberian antitoksin. Pengobatan ini dilakukan sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratoriumnya negative.

2.   Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit adalah Corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis, mitis atau intermedius. Bakteri membuat toksin bila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandung diphtheria toxin gene tox. Strain nontoksikogenik jarang menimbulkan lesi lokal, namun strain  ini dikaitkan dengan kejadian endokarditis infektif.

3.   Distribusi Penyakit           
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi adalah infeksi subklinis dan difteri kulit.
Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia. Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri dikalangan orang dewasa adalah menurunnya imunitas yang didapat karena imunisasi pada waktu bayi, tidak lengkapnya jadwal imunisasi oleh karena kontraindikasi yang tidak jelas, adanya gerakan yang menentang imunisasi serta menurunnya tingkat sosial ekonomi masyarakat.
    Wabah mulai menurun setelah penyakit tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1995 meskipun pada kejadian tersebut dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus dan 5.000 diantaranya meninggal dunia antara tahun 1990-1997. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 1993/1994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas. Pada kedua KLB tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan imunisasi massal.

4.   Reservoir:   Manusia.

5.   Cara Penularan
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.

6.   Masa Inkubasi
Biasanya 2-5 hari terkadang lebih lama.

7.   Masa Penularan
Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari discharge dan lesi; biasanya berlangsung 2 minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Terapi antibiotik yang efektif dapat mengurangi penularan. Carrier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.

8.   Kerentanan dan Kekebalan
      Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki imunitas biasanya memiliki imunitas juga; perlindungan yang diberikan bersifat pasif dan biasanya hilang sebelum bulan keenam. Imunitas seumur hidup tidak selalu, adalah imunitas yang didapat setelah sembuh dari penyakit atau dari infeksi yang subklinis. Imunisasi dengan toxoid memberikan kekebalan cukup lama namun bukan kekebalan seumur hidup. Sero survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja kadar antitoksin protektifnya rendah; tingkat imunitas di Kanada, Australia dan beberapa negara di Eropa lainnya juga mengalami penurunan. Walaupun demikian remaja yang lebih dewasa ini masih memiliki memori imunologis yang dapat melindungi mereka dari serangan penyakit. Di Amerika Serikat kebanyakan anak-anak telah diimunisasi pada kuartal ke-2 sejak tahun 1997, 95% dari anak-anak berusia 2 tahun menerima 3 dosis vaksin difteri. Antitoksin yang terbentuk melindungi orang terhadap penyakit sistemik namun tidak melindungi dari kolonisasi pada nasofaring.
 
9.   Cara-cara Pemberantasan
      A.   Cara Pencegahan
1)   Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2)   Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3)   Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a)   Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
      Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.
b)   Untuk usia 7 tahun ke atas:
       Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4)   Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5)   Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

B.   Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1)  Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Laporan wajib dilakukan di hampir semua negara bagian di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia, Kelas 2 A (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
3)  Desinfeksi serentak:  Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
4) Karantina:  Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
5)   Manajemen Kontak:  Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
6)   Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat jika tindakan yang diuraikan pada 9B5 diatas sudah dilakukan dengan benar. Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.
7)   Pengobatan spesifik:  Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda).
Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin.
Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.

C.   Penanggulangan Wabah
1)   Imunisasi sebaiknya dilakukan seluas mungkin terhadap kelompok yang mempunyai risiko terkena difteria akan memberikan perlindungan bagi bayi dan anak-anak prasekolah. Jika wabah terjadi pada orang dewasa, imunisasi dilakukan terhadap orang yang paling berisiko terkena difteria. Ulangi imunisasi sebulan kemudian untuk memperoleh sukurang-kurangnya 2 dosis.
2)   Lakukan identifikasi terhadap mereka yang kontak dengan penderita dan mencari orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah dan fasilitasnya memadai, lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dilaporkan untuk menetapkan diagnosis dari kasus-kasus tersebut dan untuk mengetahui biotipe dan toksisitas dari C. diphtheriae.

D.   Implikasi Bencana
Kejadian luar biasa dapat terjadi ditempat dimana kelompok rentan berkumpul, khususnya bayi dan anak-anak. Kejadian wabah difteria seringkali terjadi oleh karena adanya perpindahan penduduk yang rentan terhadap penyakit tersebut dalam jumlah banyak.
        E.   Penanganan Internasional
Orang yang mengadakan kunjungan atau singgah di negara-negara yang terjangkit difteria faucial atau difteria kulit dianjurkan mendapatkan imunisasi dasar. Dosis booster Td diberikan kepada orang yang sebelumnya telah mendapatkan imunisasi.


Sabtu, 29 Januari 2011

Kolera

DEFINISI          
Kolera adalah suatu infeksi usus kecil karena bakteri Vibrio cholerae. Bakteri kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus halus melepaskan sejumlah besar cairan yang banyak mengandung garam dan mineral. Karena bakteri sensitif terhadap asam lambung, maka penderita kekurangan asam lambung cenderung menderita penyakit ini. Kolera menyebar melalui air yang diminum, makanan laut atau makanan lainnya yang tercemar oleh kotoran orang yang terinfeksi. Kolera ditemukan di Asia, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin. Di daerah-daerah tersebut, wabah biasanya terjadi selama musim panas dan banyak menyerang anak-anak. Di daerah lain, wabah bisa terjadi pada musim apapun dan semua usia bisa terkena.

GEJALA KLINIS
Gejala dimulai dalam 1-3 hari setelah terinfeksi bakteri, bervariasi mulai dari diare ringan-tanpa komplikasi sampai diare berat-yang bisa berakibat fatal. Beberapa orang yang terinfeksi, tidak menunjukkan gejala.  Penyakit biasanya dimulai dengan diare encer (seperti air cucian beras), berwarna putih keruh, berbau manis yang menusuk yang terjadi secara tiba-tiba tanpa rasa sakit dan muntah-muntah. Pada kasus yang berat, diare menyebabkan kehilangan cairan sampai 1 liter dalam 1 jam. Kehilangan cairan dan garam yang berlebihan menyebabkan dehidrasi disertai rasa haus yang hebat, kram otot, lemah dan penurunan produksi air kemih. Banyaknya cairan yang hilang dari jaringan menyebabkan mata menjadi cekung dan kulit jari-jari tangan menjadi keriput. Jika tidak diobati, ketidakseimbangan volume darah dan peningkatan konsentrasi garam bisa menyebabkan gagal ginjal, syok dan koma. Gejala biasanya menghilang dalam 3-6 hari. Kebanyakan penderita akan terbebas dari organisme ini dalam waktu 2 minggu, tetapi beberapa diantara penderita menjadi pembawa dari bakteri ini. Pada pemeriksaan fisik didapati kondisi pasien lemah fisik (lemas), mata cekung, mulut kering, pipinya kempot, kulit kering dan suaranya serak, detak jantung cepat dan bising usus meningkat.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap apusan rektum atau contoh tinja segar untuk menemukan bakteri vibrio kolera.

PENATALAKSANAAN
  1. Penjernihan cadangan air dan pembuangan tinja yang memenuhi standar, meminum air yang sudah dimasak dan sayuran mentah, ikan dan kerang yang dimasak sampai matang.
  2. Segera mengganti kehilangan cairan, garam dan mineral dari tubuh. Untuk penderita yang mengalami dehidrasi berat, cairan diberikan melalui infus.
  3. Bila dehidrasi sudah diatasi, tujuan pengobatan selanjutnya adalah menggantikan jumlah cairan yang hilang karena diare dan muntah. Makanan padat bisa diberikan setelah muntah-muntah berhenti dan nafsu makan sudah kembali. Pengobatan awal dengan tetrasiklin atau antibiotik lainnya bisa membunuh bakteri dan biasanya akan menghentikan diare dalam 48 jam. Lebih dari 50% penderita kolera berat yang tidak diobati meninggal dunia. Kurang dari 1% penderita yang mendapat penggantian cairan yang adekuat, meninggal dunia.

Amebiasis

Disentri Amebiasis adalah diare yang disebabkan oleh Entamoeba hystolitica merupakan patogen kolon yang lazim di negara belum berkembang. Di Amerika Serikat, penyakit ini terjadi terutama pada kota berpopulasi imigran yang tinggi. Infeksi terjadi karena tertelannya kista dalam makanan dan minuman yang terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan mengeluarkan amoeba aktif (trofozoit) dalam usus besar dan memasuki submukosa yang merupakan tempat infeksi terdalam.

PATOFISIOLOGI
Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa bulan. E. histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu kista dan trofozoit yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Di dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoit yang akan menjadi dewasa dalam lumen kolon. Trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara mengeluarkan enzim proteolitik, penglepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi dan terjadi destruksi mukosa. Selanjutnya timbul ulkus dengan kedalaman mencapai submukosa atau lapisan muskularis, tepi ulkus menebal dan sedikit reaksi radang. Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan imunitas amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden.

GEJALA KLINIS
Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa bulan. Amebiasis dapat berlangsung tanpa gejala (asimptomatik). Penderita kronis mungkin memiliki toleransi terhadap penyakit, sehingga tidak menderita gejala lagi (symptomless carrier). Gejala dapat bervariasi, mulai rasa tidak enak di perut hingga diare. Gejala yang khas adalah sindroma disentri, yakni kumpulan gejala gangguan pencernaan yang meliputi diare berlendir dan berdarah, lunak disertai tenesmus, tinja berbau busuk, demam ringan, kembung dan nyeri perut ringan, diare dapat mencapai 10X dalam sehari Lesi yang tipikal terjadi di usus besar, yakni adanya ulkus karena kemampuan amoeba ini menginvasi dinding usus. Pada pemeriksaan fisik didapati mata cekung , kering, turgor kulit menurun , bising usus meningkat.

DIAGNOSIS
Selain menilai gejala dan tanda, diagnosis amebiasis yang akurat membutuhkan pemeriksaan tinja untuk mengidentifikasi bentuk trofozoit dan kista serta mengetahui adanya eritrosit. Metode yang paling sering digunakan adalah teknik konsentrasi dan pembuatan sediaan permanen dengan trichom stain. Untuk scrining cukup menggunakan sediaan basah dengan bahan saline dan diwarnai lugol agar terlihat lebih jelas. Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien amebiasis akut.

PENATALAKSANAAN
Sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil pengobatan. Walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, sebaiknya diobati, karena amoeba yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar, sewaktu-waktu dapat menjadi patogen.

Sigellosis

DEFINISI
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air. Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri. Diare berlangsung selama kurang lebih 2 pekan dengan frekuensi diare dapat mencapai lebih dari 8X dalam sehari.

PATOFISIOLOGI
Kuman Shigella menginvasi sel epitel mukosa usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di ileum terminalis/kolon, terutama kolon distal dan menyebar ke sel epitel sekitarnya. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel karena terjadi infiltrasi sel radang sehingga sel epitel mukosa nekrosis. Akibatnya timbul ulkus-ulkus kecil, eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus, menyebabkan tinja bercampur dengan darah. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri.

GEJALA KLINIS
Masa inkubasi antara beberapa jam sampai 8 hari, gejala seperti infeksi umum yaitu kelemahan umum (rewel, perasaan mengantuk, hilangnya nafsu makan, mual dan muntah) yang disertai demam, kemudian  diare yang mengandung lendir dan darah ,(tenesmus ) nyeri perut dan kembung dan nyeri pada saat buang air besar. Bila penyakit menjadi berat disertai tanda septisemia yaitu panas tinggi dan kesadaran menurun. Kadang dalam masa akut disertai dengan perangsangan meningeal seperti kaku kuduk. Bila menjadi kronis suhu tubuh menurun (subfebris) disertai tinja yg bercampur darah dan lendir. Pada orang dewasa awalnya tidak terjadi demam dan pada mulanya tinja sering tidak berdarah dan tidak berlendir. Gejalanya dimulai dengan nyeri perut, rasa ingin buang air besar dan pengeluaran tinja yang padat, yang kadang mengurangi rasa nyeri namun episode ini berulang, lebih sering dan lebih berat.  Terjadi diare hebat dan tinja menjadi lunak atau cair disertai lendir, nanah dan darah.  Kadang penyakit dimulai secara tiba-tiba dengan tinja yang jernih atau putih, kadang dimulai dengan tinja berdarah. Sering disertai muntah muntah dan bisa menyebabkan dehidrasi. Pada kasus yang lebih parah menetap selama 3 – 4 minggu, Shigellosis kronis dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi. Pada pemeriksaan fisik didapati mata cekung , mulut kering,  turgor kulit menurun, nyeri  tekan pada titik Mc.Burney (-), bising usus meningkat.

DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis dengan
anamnesa dan pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman serta biakan hapusan. Lalu spesimen dari tinja ditanam di atas media diferensial dan media selektif untuk menemukan kuman shigella. Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah. Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi, identifikasi dan sensitivitas antibiotik.

DIAGNOSA BANDING 
  1. Disentri Amebiasis
  2. Salmonelosis
  3. Sindrom diare karena enterotoksin E. Coli
  4. Kolera
PENATALAKSANAAN
  1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung dari keparahan penyakit.
  2. Antibiotik, golongan kuinolon dan sefalosporin.
  3. Pengobatan simtomatik, derivat opiat yang dapat menghambat motilitas usus harus dihindari, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi terjadinya megakolon toksik.
  4. Terapi antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.

Salmonelosis

DEFINISI
Salmonellosis disebabkan infeksi kuman yang bernama Salmonella. Salmonella terutama tersebar kepada manusia kalau makan makanan kurang matang dari binatang yang terkena yaitu daging, unggas, telur dan campurannya. Pencemaran silang terjadi kalau Salmonella mencemari makanan siap santap. Salmonella bisa tersebar di antara sesama manusia lewat tangan orang yang terkena, juga bisa dari hewan kepada kita.

PATOGENESIS
Mikroorganisme salmonella masuk dan berkoloni di jejunum/ileum/kolon, menginvasi ke sel epitel mukosa usus dan lamina propia. Invasi ini mengakibatkan infiltrasi sel-sel radang, merangsang sintesis prostaglandin, salmonella memproduksi heat-labile cholera-like enterotoksin. Terjadi nekrosis mukosa akibatnya aliran darah ke mukosa menurun, terbentuk ulkus menggaung à eritrosit dan plasma keluar ke lumen à tinja bercampur darah.

GEJALA KLINIS
Gejala sering mulai 6-72 jam setelah infeksi dan biasanya berlangsung selama 4-7 hari atau lebih lama. Pada umumnya orang yang terkena Salmonella mengalami sakit kepala, demam, kejang perut, diare, mual dan muntah. Diare dapat mencapai <10X dalam sehari, berbentuk cair, berdarah disertai lendir yang jarang dan berbau amis. Bayi, orang lansia dan yang sistem ketahanannya lemah lebih cenderung menjadi sakit parah. Pada kasus diare ringan Self limited disease sembuh sempurna 2 -  4 hari. Pada pemeriksaan fisik didapati mata cekung,  turgor kulit menurun, kontraksi otot menurun, bising usus meningkat.

DIAGNOSA
Untuk diagnosa, dokter atau rumah sakitnya akan mengirimkan contoh kotoran/feses ke laboratorium guna ujicoba Salmomella. Pada pemeriksaan Bakteriologis  dan darah akan ditemukan kuman salmonella dan pada mikroskopik tinja  ditemukan banyak eritrosit dan leukosit PMN.

PENATALAKSANAAN
  1. Istirahat dan minum. Ada pula yang memerlukan rawat inap karena kehabisan cairan tubuh atau jika infeksinya tersebar dari usus ke arus darah dan bagian tubuh lainnya.
  2. Karena Salmonella bisa terbawa di tangan, selalu mencuci tangan dengan teliti itu penting sesudah ke WC dan sebelum menyiapkan makanan. Tangan patut dicuci dengan sabun dan air sekurangnya selama 20 detik, lalu dibilas dan dikeringkan. Bagian-bagian di bawah kuku tangan maupun di antara jari-jari patut diperhatikan dengan lebih teliti.

Diare Kronik

Diare kronis adalah diare yang onset gejalanya berlangsung lebih dari 14 hari. Gejala umum berupa diare yang berlangsung lama berminggu-minggu atau berbulan-bulan baik secara menetap atau berulang, kadang-kadang bercampur darah, lendir, lemak, dan berbuih. Batasan waktu pada diare kronik (> 4 pekan) ini penting untuk mempercepat pemastian diagnosis dan pengobatan. Dibanding dengan diare akut yang sudah jelas permasalahannya, diare kronik lebih rumit dalam menegakkan diagnosis dan penobatannya. Prevalensi diare kronik di negara barat 7-14% pada populasi tua, di subbagian Gastroenterologi FKUI/RSUPNCM Jakarta  sebesar 15% selama 2 tahun (1995-1996), sedangkan angka morbiditas diare kronik di antara semua pasien diare yang dirawat di RSCM sekitar 1%. Diare kronik merupakan suatu sindrom yang penyebab dan patogenesisnya sangat multikompleks. Mengingat banyaknya penyakit yang dapat menyebabkan diare kronik dan banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan, sangat penting bagi dokter untuk memilih yang benar-benar cost effective.

ETIOLOGI
Etiologi diare kronik sangat beragam dan tidak selalu hanya disebabkan kelainan pada usus. Kelainan yang dapat menimbulkan diare kronis antara lain kelainan usus, kelainan hati, kelainan pancreas, endokrin, dan lain-lain. Walaupun telah diusahakan secara maksimal, diperkirakan sekitar 10-15% pasien diare kronik tidak diketahui etiologinya.

PATOFISIOLOGI
Diare Kronik berdasarkan penyebabnya terdiri dari : Proses inflamasi, osmotic (malabsorbsi), sekretori dan dismotilitas.
  1. Diare Inflamasi, pada pasien tanpa penyakit sistemik, adanya fases yang berisi cairan atau darah tersamar kemungkinan suatu neoplasma kolon atau proktitis ulcerative. Terjadinya diare kronik yang berdarah dapat disebabkan oleh Collitis Ulcerativa atau  Chron’s Disease.
  2. Osmotic (malabsorbsi), jika cairan yang dicerna tidak seluruhnya diabsorbsi oleh usus halus akibat tekanan osmotic yang mendesak cairan kedalam lumen intestinal. Pada umumnya penyebab diare osmotic adalah malabsorbsi lemak atau karbohidrat. Malabsorbsi protein secara klinik sulit diketahui namun dapat menyebabkan malnutrisi atau berakibat kepada defisiensi spesifik asam amino. Diare osmotic dapat terjadi akibat gangguan pencernaan kronik terhadap makanan tertentu seperti buah, gula/manisan, permen karet, makanan diet dan pemanis obat berupa karbohidrat yang tidak di absorbsi seperti sorbitol atau fruktosa. Kelainan congenital spesifik seperti tidak adanya hidrolase karbohidrat atau defisiensi lactase pada laktosa intolerans dapat juga menyebabkan diare kronik.
  3. Sekretori, Diare sekretori biasanya disebabkan abnormalitas baik absorbsi maupun sekresi elektrolit. Diare Sekretori secara normal berhubungan dengan meningkatnya camp inttraselular. Meningkatnya cAMP menghambat absorbsi NaCL dan menstimulasi sekresi klorida tanpa merubah mekanisme transport lainnya. Hal ini membuat toksin yang labil dalam keadaan panas seperti basil kolera, menyebabkan diare dengan meningkatnya cAMP intraseluler tanpa merusak permukaan mukosa. Diare sekretori mempunyai penyebab lain, tetapi sebagian besar sedikit dimengerti. Kelainan yang berhubungan dengan malabsorbsi pada diare osmotic dapat berkaitan dengan komponen sekretori, tetapi mekanismenya sampai saat ini kurang dipahami. Asam empedu yang tidak diabsorbsi dan asam-asam lemak dapat menstimulasi sekresi ion dalam kolon, menyebabkan diare massif yang berlanjut walaupun dalam keadaan puasa. Pada diare ini yang menonjol adalah air dan elektrolit. Diare osmotic disebabkan oleh akumulasi larutan yang sulit diserap dalam lumen intestinal. Malabsorbsi Karbohidrat menyebabkan diare osmotic, menghasilan fases yang asam karena fermentasi bakteri terhadap karbohidrat.
  4. Dismotilitas, Diare ini disebabkan oleh kelainan yang menyebabkan perubahan motilitas intestinal. Ditandai dengan konstipasi, nyeri abdomen, passase mucus dan rasa tidak sempurna dalam defaksi. Pada beberapa pasien dijumpai konstipasi dengan kejang perut yang berkurang dengan diare, kemungkinan disebabkan kelainan motilitas intestinal. Kasus paling sering adalah Irritable Bowel Syndrome.
GEJALA KLINIS
  1. Diare Inflamasi ditandai dengan adanya demam, nyeri perut, fases yang berdarah dan berisi lekosit serta lesi inflamasi pada biopsy mukosa intestinal.
  2. Diare osmotic ditandai peningkatan volume cairan lumen, artralgia, demam, menggigil, hipotensi, limfadenopati dan keterlibatan system saraf. Gejala berupa artralgia, demam, menggigil, hipotensi, limfadenopati dan keterlibatan system saraf merupakan manisfestasi pada Malabsorbsi Intestinal (Whipp;e’s Disease) disebabkan tropehyma whippeli, umumnya terjadi pada usia dewasa.
  3. Diare sekretori ditandai ditandai oleh volume feses yang besar oleh karena abnormalitas cairan dan transport elektrolit yang tidak selalu berhubungan dengan makanan yang dimakan, tidak ada malabsorbsi larutan.
  4. Diare dismotilitas ditandai dengan adanya konstipasi, nyeri abdomen, passase mucus dan rasa tidak sempurna dalam defaksi, konstipasi dengan kejang perut yang berkurang dengan diare, kemungkinan disebabkan kelainan motilitas intestinal.
DIGNOSA
Terbagi menjadi pemeriksaan awal (dasar), yang meliputi anamnesis, pemeriksaan  fisik, pemeriksaan darah sederhana, tinja & urin dan Pemeriksaan lanjutan yang disesuaikan dengan perkiraan diagnosis yang sudah didapatkan pada pemeriksaan awal, yaitu meliputi:
  1. Pemeriksaan anatomi usus : Barium enema kontras ganda (colon in loop) & BNO, Kolonoskopi & ileoskopi, Barium follow thruogh dan/atau enteroclysis, Gastroduodeno-jejunoskopi, Endoscopic Retrograde Cholangio Pncreatography (ERCP), Sidik Indium 111 leukosit, USG abdomen, Sidik perut (CT-scan abdomen), Arteriography/angiografi mesenterika duperior & inferior.
  2. Fungsi Usus & Pankreas: Tes fungsi ileum & yeyenum, Tes fungsi pancreas, Tes Schilling: utk def B12, Test bile acid breath, Tes lainnya meliputi: Tes permeabilitas usus, Tes small & large bowel transit time.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG LAINNYA
Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare kronik adalah sebagai berikut :
  1. Lekosit Feses (Stool Leukocytes) : Merupakan pemeriksaan awal terhadap diare kronik. Lekosit dalan feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal. Kultur bacteri dan pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan adanya infeksi. Pada pasien yang sudah mendapat antibiotik, toksin C difficle harus diperiksa.
  2. Volume Feses : Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit, infeksi enteric atau imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses 24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian.
  3. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam : Jika berat feses > 300/g24jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari 1000-1500 gr mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h menunjukkan proses malabsorbstif.
  4. Lemak Feses : Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan suatu steatore, lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak merak orange per ½ lapang pandang dari sample noda sudan adalah positif. False negatif dapat terjadi jika pasien diet rendah lemak. Eksresi yang banyak dari lemak dapat disebabkan malabsorbsi mukosa intestinal sekunder atau insufisiensi pancreas.
  5. Osmolalitas Feses : Diperlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare osmotic atau diare sekretori. Elekrolit feses Na,K dan Osmolalitas harus diperiksa. Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses adalah 290 mosm dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na&K) dimana nilai normalnya <50 mosm. Diare dengan normal atau osmotic gap yang rendah biasanya menunjukkan diare sekretori. Sebaliknya osmotic gap tinggi menunjukkan suatu diare osmotic.
  6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses : Untuk menunjukkan adanya Giardia, E Histolitika pada pemeriksaan rutin. Cristosporidium dan cyclospora yang dideteksi dengan modifikasi noda asam.
  7. Pemeriksaan darah : Pada diare inflamasi ditemukan lekositosis, LED yang meningkat dan hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah akan mengesankan suatu protein losing enteropathy akibat inflamasi intestinal. Skrining awal CBC, protrombin time, kalsium dan karotin akan menunjukkan abnormalitas absorbsi Fe, VitB12, asam folat dan vitamin yang larut dalam lemak (ADK). Pemeriksaan darah tepi menjadi penunjuk defak absorbsi lemak pada stadium luminal, apakah pada mukosa, atau hasil dari obstruksi limfatik. Eosinofll darah, serologi amuba (IDT), widal.
  8. Pemeriksaan imunodefisiensi (CD4, CDS), feses lengkap dan darah samar.
    Pemeriksaan anatomi usus : Barium enema, colon in loop (didahului BNO).
  9. Kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis, ERCP, USG abdomen, CT Scan abdomen.
  10. Fungsi usus dan pankreas : tes fungsi ileum dan yeyunum, tes fungsi pankreas, tes Schilling.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan diare kronik ditujukan terhadap penyakit yang mendasari. Sejumlah agen anti diare dapat digunakan pada diare kronik. Opiat mungkin dapat digunakan dengan aman pada keadaan gejala stabil.
  1. Loperamid : 4 mg dosis awal, kemudian 2 mg setiap mencret. Dosis maksimum 16 mg/hari.
  2. Dhypenoxylat dengan atropin : diberikan 3-4 kali per hari.
  3. Kodein, paregoric : Disebabkan memiliki potensi additif, obat ini sebaiknya dihindari. Kecuali pada keadaan diare yang intractable. Kodein dapat diberikan dengan dosis 15-60 mg setiap 4 jam, Paregoric diberikan 4-8 ml.
  4. Klonidin :  adrenergic agonis yang menghambat sekresi elektrolit intestinal. Diberikan 0,1-0,2 mg/hariselama 7 hari. Bermanfaat pada pasien dengan diare sekretori, kriptospdidiosis dan diabetes.
  5. Octreotide : Suatu analog somatostatin yang menstimulasi cairan instestinal dan absorbs elektrolit dan menghambat sekresi melalui pelepasan peptide gastrointestinal. Berguna pada pengobatan diare sekretori yang disebabkan oleh VIPoma dan tumor carcinoid dan pada beberapa kasus diare kronik yang berkaitan dengan AIDS. Dosis efektif 50mg –250mg subkutan tiga kali sehari.
  6. Cholestiramin : Garam empedu yang mengikat resin, berguna pada pasien diare sekunder karena garam empedu akibat reseksi intestinal atau penyakit ileum. Dosis 4 gr 1 s/d 3 kali  sehari.

Diare Akut

Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung 14 hari atau kurang dari 14 hari. Infeksi bisa terjadi secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah demam, penurunan nafsu makan / kelesuhan, dehidrasi, bibir kering, kulit keriput, mata dan ubun-ubun menjadi cekung, penurunan berat badan, penurunan frekuensi berkemih, warna air kemih menjadi lebih gelap dan lebih pekat-denyut nadi cepat.

EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit. Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya. WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun. Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare pada orang dewasa per tahun. Penyebab utama disentri di Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC).

Diare tetap menjadi penyakit pembunuh kedua bagi anak-anak di bawah lima tahun di Indonesia, menyebabkan kematian lebih dari 10.000 anak setiap tahun. Salah satu penyebab utama angka kematian yang tinggi ini adalah minimya akses terhadap air bersih dan layanan sanitasi, serta kepedulian yang rendah terhadap kebersihan.

Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi, berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.

ETIOLOGI
1. Virus
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 – 80%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut :
  • Rotavirus (serotype 1,2,8,dan 9 : pada manusia)
  • Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibat food borne atau water borne transmisi, dan dapat juga terjadi penularan person to person.
  • Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa.
  • Adenovirus (type 40, 41)
  • Small bowel structured virus
  • Cytomegalovirus 
2. Bakteri
  • Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon, menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk : smooth lipopolysaccharide cell-wall antigen yang mempunyai aktifitas endotoksin serta membantu proses invasi dan toksin (Shiga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan watery diarrhea.
  • Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi sel epitel usus. Enterotoksin yang dihasilkan menyebabkan diare. Bila terjadi kerusakan mukosa yang menimbulkan ulkus, akan terjadi bloody diarrhea.
  • Campylobacter jejuni (helicobacter jejuni). C.jejuni mungkin menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar. Ada 2 tipe toksin yang dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heat-labile enterotoxin. Perubahan histopatologi yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis.
  • Vibrio cholerae. Air atau makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan melalui person to person jarang terjadi. V.cholerae melekat dan berkembang biak pada mukosa usus halus dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan diare. Toksin kolera ini sangat mirip dengan heat-labile toxin (LT) dari ETEC. Kedua toksin ini menyebabkan sekresi cairan kedalam lumen usus.
  • Enterotoxigenic E.coli (ETEC).
  • Enterophatogenic E.coli (EPEC).
  • Enteroaggregative E.coli (EAggEC).
  • Enteroinvasive E.coli (EIEC).
  • Enterohemorrhagic E.coli (EHEC).
3. Protozoa
  • Entamoeba histolytica. Prevalensi Disentri amoeba ini bervariasi, namun penyebarannya di seluruh dunia. Insiden nya meningkat dengan bertambahnya umur, dan teranak pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang disebabkan oleh E.histolytica non patogenik (E.dispar). Amebiasis yang simtomatik dapat berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri yang fulminant.  
  • Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme patogensis masih belum jelas, tapi dipercayai mempengaruhi absorbsi dan metabolisme asam empedu. Transmisi melalui fecal-oral route. Interaksi host-parasite dipengaruhi oleh umur, status nutrisi,endemisitas, dan status imun.
  • Cryptosporidium. Dinegara yang berkembang, cryptosporidiosis 5 – 15% dari kasus diare pada anak. Infeksi biasanya siomtomatik pada bayi dan asimtomatik pada anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe watery diarrhea, ringan dan biasanya self-limited.
  • Microsporidium spp
  • Isospora belli
  • Cyclospora cayatanensis
4. Helminths
  • Strongyloides stercoralis. Kelainan pada mucosa usus akibat cacing dewasa dan larva, menimbulkan diare.
  • Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai organ termasuk intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan perdarahan usus..
  • Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama jejunu, menyebabkan inflamasi dan atrofi vili dengan gejala klinis watery diarrhea dan nyeri abdomen.
  • Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, caecum, dan appendix. Infeksi berat dapat menimbulkan bloody diarrhea dan nyeri abdomen. 

PATOFISIOLOGIS
Diare akut dapat disebabkan oleh infeksi, intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi obat-obatan, dan juga faktor psikis. Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi, diare inflamasi dan Penetrasi.
  1. Diare inflamasi akibat proses invasion dan cytotoxin di kolon dengan manifestasi sindroma Disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Biasanya gejala klinis yang menyertai adalah keluhan abdominal seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan makroskopis tinja rutin ditemukan lendir dan/atau darah, secara mikroskopis didapati leukosit polimorfonuklear. Beberapa agen infeksi yang dapat menyebabkan diare inflamasi antara lain dari golongan protozoa adalah Entamoeba Hystolitica, dari golongan bakteri adalah Shigella Entero Invasive E.coli (EIEC),V.parahaemolitycus, C.difficile, dan C.jejuni, dan dari golongan cacing adalah Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang).
  2. Diare non-inflamasi diarrhea dengan kelainan yang ditemukan di usus halus bagian proksimal. Diare disebabkan adanya enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah, yang disebut dengan Watery diarrhea. Keluhan abdominal biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mikroorganisme penyebab seperti, V.cholerae, Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Salmonella.
  3. Penetrating diarrhea lokasi pada bagian distal usus halus. Penyakit ini disebut juga Enteric fever, Chronic Septicemia, dengan gejala klinis demam disertai diare. Pada pemeriksaan tinja secara rutin didapati leukosit mononuclear. Mikrooragnisme penyebab biasanya S. Thypi, S. Parathypi, S. Enteritidis, S. Cholerasuis, Y. Enterocolitidea, dan C. Fetus.
GEJALA KLINIS 
Karakteristik
Inflamasi
Non Inflamasi
Penetrasi
Gambaran Tinja :
Berdarah, mukus
Volume sedang
Leukosit PMN
Volume >>
Leukosit (-)
Mukus
Volume sedikit
Leukosit MN
Demam
(+)
(-)
(+)
Nyeri Perut
(+)
(-)
(+)/(-)
Dehidrasi
(+)
(+)
(+)/(-)
Tenesmus
(+)
(-)
(-)
Komplikasi
Toksik
Hipovolemik
Sepsis

DIAGNOSA
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Untuk mengetahui mikroorganisme penyebab diare akut dilakukan pemeriksaan feses rutin dan pada keadaan dimana feses rutin tidak menunjukkan adanya mikroorganisme. Indikasi pemeriksaan kultur feses antara lain, diare berat, suhu tubuh > 38,50C, adanya darah dan/atau lendir pada feses, ditemukan leukosit pada feses, laktoferin, dan diare persisten yang belum mendapat antibiotik.

PENGOBATAN
Diare akut pada orang dewasa selalu terjadinya singkat bila tanpa komplikasi, dan kadang-kadang sembuh sendiri meskipun tanpa pengobatan. Prinsip pengobatan adalah menghilangkan kausa diare dengan memberikan antimikroba yang sesuai dengan etiologi, terapi supportive atau fluid replacement dengan intake cairan yang cukup atau dengan Oral Rehidration Solution (ORS) yang dikenal sebagai oralit, dan tidak jarang pula diperlukan obat simtomatik untuk menstop atau mengurangi frekwensi diare.

Terapi simtomatik sebagai tambahan terhadap terapi kausal kadang diperlukan untuk mengurangi keluhan penderita yang mengganggu aktifitas sehari-hari akibat diare akut. Pada prinsipnya, obat simtomatik bekerja dengan mengurangi volume feses dan frekwensi diare ataupun menyerap air. Beberapa obat diare antara lain seperti Loperamid, Difenoksilat, Kaolin, Pektin, Tannin albuminat, Aluminium silikat, Attapulgite, dan Diosmecti. Obat-obat Probiotik yang merupakan suplemen bakteri atau yeast banyak digunakan untuk mengatasi diare dengan menjaga atau menormalkan flora usus. Namun berbagai hasil uji klinis belum dapat merekomendasikan obat ini untuk diare akut secara umum. Probiotik meliputi Laktobasilus, Bifidobakterium, Streptokokus spp, yeast (Saccaromyces boulardi), dan lainnya.